Makalah Pancasial Sebagai Etika Politik (Kelompok IV HESy IAIN PKY)



Makalah Kelompok IV


PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Pancasila
Dosen : Ali Murtadho, S.Ag., M.H.








Disusun Oleh

Ayu Hayati
NIM. 1602130073
M. Bayu Heksaputra Hermawan
NIM. 1602130074
Muthmainnah
NIM. 1602130075

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M / 1437

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk sosial dan menugaskannya untuk menegakkan hukum yang adil, agar manusia dapat hidup dengan baik dan damai. Berkat pertolongan Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pancasila Sebagai Etika Politik”. Tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Pancasila.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya baik secara moral maupun material sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis terutama pembacanya pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. 
Apabila dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan, maka kami sebagai penulis mohon maaf. Segala sesuatu yang benar itu datangnya dari Allah, dan yang salah berasal dari kami sendiri sebagai penulis. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Palangka Raya,   September 2016


Penulis
 


DAFTAR ISI






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pancasila sebagai suatu sistem filsafst pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai, oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan melainkan suatu nilai yang bersifat mendasar.
Pengertian politik berasal dari kosakata politics yang memiliki makna beracam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum atau piblis policies, yang menyangkut peraturan dan pembagian dari sumber-sumber yang ada. Dan politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan pribadi seseoran. Selain itu politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
Pancasila dan politik di Indonesia sangat berkaitan. Mengingat pancasila itu sendiri merupakan dasar dari segala sumber hukum ataupun norma-norma yang ada di masyarakat. Dan tatanan kepolitikan yang ada di pemerintahan Indonesia juga harus sesuai dengan pancasila. Maka dari itu penulis akan menyajikan materi tentang Pancasila sebagai Sumber Etika Politik di Indonesia.    

B.     Rumusan Masalah

1.    Apa yang dimaksud nilai, norma, dan moral?
2.    Apa yang dimaksud dengan politik dan etika politik?
3.    Bagaimana dimensi politik manusia?
4.    Bagaimana nilai pancasila sebagai sumber etika politik?

C.    Tujuan Penulisan

1.    Untuk mengetahui dan memahami pengertian nilai, norma dan moral.
2.    Untuk mengetahui dan memahami pengertian politik dan etika politik.
3.    Untuk mengetahui dan memahami dimensi politik manusia.
4.    Untuk mengetahui dan memahami nilai pancasila sebagai sumber etika politik.

D.    Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah berdasarkan metode telaah perpustakaan sebagai bahan referensi, metode pencarian melalui internet dan kemudian penulis mengelola kembali menjadi satu kesatuan materi yang valid sehingga menghasilkan komponen pembahasan yang lebih sederhana untuk dipelajari.

BAB II
 PEMBAHASAN

A.      Pengertian Nilai, Norma, dan Moral

Nilai, moral, dan norma merupakan konsep yang saling berkaitian. Ketiga konsep ini saling terkait dalam memahami Pancasila sebagai etika politik.  
1.    Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, di samping sistem sosial dan karya.
Cita-cita, gagasan, konsep, ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Dalam menghadapi alam sekitarnya, manusia didorong untuk membuat hubungan yang bermakna melalui budinya. Budi manusia menilai benda-benda itu, serta kejadian yang beraneka ragam di sekitarnya dan dipilihnya menjadi kelakuan kebudayaannya. Proses pemilihan itu dilakukan secara terus-menerus. Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat ada enam macam, yaitu nilai teori, nilai ekonomi,nilai estestika, nilai sosial, nilai politik, dan nilai religi. Dalam memilih nilai-nilai, manusia menempuh berbagai cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan kenyataannya.
Di samping teori nilai terurai di atas, Prof. Notonegoro membagi nilai dalam tiga kategori, yaitu sebagai berikut.
a.       Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.
b.      Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan aktivitas.
c.       Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian dapat dirinci menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
1)      Nilai kebenaran, yaitu bersumber kepada unsur rasio manusia, budi, dan cipta.
2)      Nilai keindahan, yaitu bersumber pada unsur rasa atau instuisi.
3)      Nilai moral, yaitu bersumber pada unsur kehendak manusia atau kemauan (karsa, etika).
4)      Nilai religi, yaitu bersumber pada nilai ketuhanan, merupakan nilai kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia terhadap Tuhan. Nilai religi itu berhubungan dengan nilai penghayatan yang bersifat transedental, dalam usaha manusia untuk memahami arti dan makna kehadirannya di dunia. Nilai ini berfungsi sebagai sumber moral yang dipercayai sebagai rahmat dan rida Tuhan.
Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki, atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai berada dalam hati nurani, kata hati, dan pikiran sebagai suatu keyakinan, dan kepercayaan yang bersumber dari berbagai sistem nilai.
2.    Moral
Moral berasal dari kata mos (mores)= kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya,  dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma, dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
3.    Norma
Manusia memerlukan pengendalian diri baik terhadap manusia sesamanya, lingkungan alam, dan Tuhan. Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhraadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya merupakan perwujudan martabat manusia sebagai mahkluk budaya, sosial, moral, dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma soaial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a.       norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan,                     
b.      norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri,
c.       norma kesopanan,dengan sanksinya beruoa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat,
d.      norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat negara. [1]

B.     Pengertian Politik dan Etika Politik

1.    Pengertian Politik
Istilah Politik berasal dari bahasa Yunani ‘polis‘ yang artinya negara-kota. Dalam negara-kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan (kebaikan, menurut Aristoteles) dalam hidupnya. Ketika manusia mencoba untuk untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika mereka berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau ketika mereka berupaya mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka mereka sibuk dengan suatu kegiatan yang kita semua namai sebagai ‘politik‘.
Berikut Pandangan dari para ahli terkait dengan politik.
a.       Aristoteles
Usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
b.       Joice Mitchel
Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
c.       Roger F. Soltau
Bermacam-macam kegiatan yang menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Menurutnya politik membuat konsep-konsep pokok tentang negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision marking), kebijaksanaan (policy of beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
d.       Johan Kaspar Bluntchli
Ilmu politik memerhatikan masalah kenagaraan yang mencakup paham, situasi, dan kondisi negara yang bersifat penting.
e.       Hans Kelsen
 Dia mengatakan bahwa politik mempunyai dua arti, yaitu sebagai berikut.
1)      Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
2)      Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Jika dilihat secara Etimologis yaitu kata "politik" ini masih memiliki keterkaitan dengan kata-kata seperti "polisi" dan "kebijakan". Melihat kata "kebijakan" tadi maka "politik" berhubungan erat dengan perilaku-perilaku yang terkait dengan suatu pembuatan kebijakan. Sehingga "politisi" adalah orang yang mempelajari, menekuni, mempraktekkan perilaku-perilaku didalam politik tersebut.
Oleh karena itu secara garis besar definisi atau makna dari "Politik" ini adalah sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan negara agar dapat merealisasikan cita-cita negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk negara sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah negara tersebut lebih mudah tercapai. [2]
2.      Pengertian Etika Politik
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Karena itu, etika politik mempertanyakannya tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan sebagai warga negara terhadap negara, hukum dan sebagainya (lihat suseno, 1986). Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah idiologis dapat dijalankan secara obyektif. Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembagapenata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan HAM menurut kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur kebudayaan masyarakat masing-masing dan keadaan sosial. [3]

C.    Dimensi Politik Manusia

1.      Manusia sebagai makhluk Individu-Sosial
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme memandang, segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja.[4]
Manusia memang merupakan makhluk yang bebas, namun untuk menjamin kebebasannya ia senantiasa memerlukan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu manusia tidak mungkin bersifat bebas jika ia hanya bersifat totalitas individu atau sosial saja. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung kepada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk sosial. Kesosialannya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya dan sosialitasnya senantiasa bersifat korelatif. Disamping kebebasannya sebagai individu, kesosialan manusia dapat dibuktikan melalui kodrat kehidupannya, sebab manusia lahir ke dunia senantiasa merupakan suatu hasil interaksi sosial.
Dasar filosofis sebagaimanan terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Yaitu sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khaskebangsaan dan kenegaraan Indonesia bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis, melainkan monodualistis.[5]
2.      Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan hukum kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian dimensi politik manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakan-tindakannya.
Dimensi politis manusia memiliki dua segi fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia dan berhadapan dengan tindakan moral manusia. Jikalau pada tingkatan moralitas dalam kehidupan manusia sudah tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapi hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif yaitu dengan lembaga penata normatif masyarakat yaitu hukum. Hukum terdiri atas norma-norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat. Hukum hanya bersifat normatif, oleh karena itu cara efektif untuk menentukan kelakuan masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah negara. Penataan efektif masyarakat adalah penataan yang de facto.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan masyarakat secara normatif, serta kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif pada hakikatnya sesuai dengan struktur kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. [6]

D.    Nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik

Sebagai dasar filsafat negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan,  hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ’Kemanusian yang adil dan beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila 1 ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggara negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu asas sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimasi moral. Hal inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara.
Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup  manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia I dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila III). Manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara.  Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia. Selain itu asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.[7]
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Hal ini ditegaskan oleh Hatta tatkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral Kemanusiaan agar tidak terjerumus kedalam machtsstaats, atau negara kekuasaan.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’ negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu ‘Keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaran atau prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dari kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus di kembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan kata lain harus memiliki ‘legitimasi demokratis’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praksis alam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri dan luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). [8]










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya.
Moral berasal dari kata mos (mores)= kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi.
2.      Istilah Politik berasal dari bahasa Yunani ‘polis‘ yang artinya negara-kota. Dalam negara-kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan (kebaikan). Dan yang dimaksud Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Karena itu, etika politik mempertanyakannya tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan sebagai warga negara terhadap negara, hukum dan sebagainya
3.       Pembahasan dimensi politik manusia terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Paham individualisme memandang, segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Dan melalui dasar filosofis sebagaimana terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Yaitu sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
b.      Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan hukum kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian dimensi politik manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakan-tindakannya. Dimensi politis manusia memiliki dua segi fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak.
4.      Sebagai dasar filsafat negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan,  hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.

B.     Saran

Saran kami sebagai penulis, pemahaman tentang etika politik dan pemerintahan harus ditingkatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Dan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif, serta menumbuhkan suasana politik demokratis kita harus menanamkan sebuah etika dan niat yang baik dari dalam diri kita sendiri.
           

DAFTAR PUSTAKA

A.    Buku
Syarbaini, Syahrial, Pendidikan Pancasila (Implementasi nilai-nilai karakter bangsa) di Perguruan Tinggi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2003.
­­­______, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma. 2008.
Hasan dan M. Iqbal, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, 2002, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kencana, Syafie Inu, Etika Pemerintahan, 1994, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
B.     Internet
Didi Wirawan, Pengertian dan Definisi Politik,  http://www.ikerenki.com /2014/01/pengertian-politik-makna-definisi-umum.html, diakses pada tanggal 08 oktober pukul 12.15 WIB.
Rowland, Pancasila Sebagai Etika Politik, https://rowlandpasaribu.files.word-press.com/2012/10/bab-04-pancasila-sebagai-etika-politik.pdf. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2016 pada pukul 21.20 WIB.




[1] Dr.H.Syahrial Syarbaini,M.A.,Pendidikan Pancasila (Implementasi nilai-nilai karakter bangsa) di Perguruan Tinggi,Bogor: Ghalia Indonesia,2012, h.32-33.

[2] Didi Wirawan, Pengertian dan definisi politik,  http://www.ikerenki.com/2014/01/pengertian-politik-makna-definisi-umum.html, diakses pada tanggal 08 oktober pukul 12.15 WIB.
[3] Rowland, Pancasila Sebagai Etika Politik, https://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2012/10/bab-04-pancasila-sebagai-etika-politik.pdf. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2016 pada pukul 21.20 WIB.
[4] Drs. H. Kaelan, M.S., Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2003, h. 96.
[5] Ibid., h. 97-98.

[6] Ibid., h. 99.
[7] Hasan, M. Iqbal, M.M,  Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h.
[8] Drs. H. Kaelan, M.S., Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2003, h.101-102

Komentar

Postingan Populer